Di Indonesia, bisnis makanan cepat saji tampaknya masih banyak diminati oleh usahawan. Hal ini tidak terlepas dari gaya hidup sebagian besar masyarakat Indonesia yang menganggap mengkonsumsi makanan cepat saji, apalagi fast food yang berbau luar negeri, memberikan kesan prestise tersendiri. Contoh makanan fastfood yang sering kita jumpai di kota-kota besar misalnya burger, sandwich, kebab, hot dog, dan fried potatos yang digoreng dengan waktu singkat.
Namun, di daratan Eropa dan Amerika, sajian fast food nampaknya perlahan-lahan mulai coba ditinggalkan konsumen (sedikit mengurangi) karena dampak kesehatan yang ditimbulkan, terutama terkait dengan kandungan kolesterolnya. Sehingga banyak bermunculan usaha kuliner Slow Food yang merupakan lawan dari bisnis makanan cepat saji.
Slow Food adalah istilah yang digunakan untuk merujuk pada sajian makanan yang dimasak dengan cara biasa dengan bahan makanan yang alami dan bernutrisi. Aksi ajakan memilih kuliner Slow Food awalnya dimulai dari negara Italia yang kemudian menyebar hingga ke berbagai negara termasuk Indonesia.
Di Indonesia, gerakan (komunitas) untuk mengkonsumsi slow food dan meninggalkan fast food sudah dimulai sejak tahun 2006 yang diprakarsai oleh seorang ekspatriat yang berprofesi sebagai koki dan sempat tinggal di Tanggerang, bernama Gregory Ernoult. Untuk membangun sebuah rumah makan dengan lebel Slow Food, ada tiga poin yang menjadi dasarnya, yaitu Good, Clean, dan Fair.
Good food maksudnya sajian makanan yang dihidangkan harus terasa enak, nilai Clean artinya bahan makanan yang digunakan harus bersih dan tidak mengandung bahan kimia, kemudian konsep Fair artinya makanan yang dimasak memiliki keadilan dalam proses produksi dan cara mendapatkan bahan makanan tersebut.
Dalam konsep Slow Food, daging dari ayam kampung lebih dipilih daripada daging ayam broiler, karena ayam broiler diproduksi dengan berbagai metode agar lebih cepat gemuk, sehingga dianggap tidak “fair” dalam memperlakukan hewan peliharaan. Konsep sajian kuliner Slow Food menolak hal tersebut.
Selain itu, penggunaan penyedap rasa (MSG) juga tidak sejalan dengan filosofi slow food. Jadi dalam memulai usaha makanan Slow Food, ada beberapa hal penting yang mesti diperhatikan, antara lain:
- Penggunaan bahan makanan termasuk bumbu harus benar-benar bebas dari unsur kimia, bertipe organik, bersih, segar, mengandung nilai nutrisi, dan bermanfaat untuk kesehatan.
- Menciptakan menu makanan yang enak di lidah, di perut, dan juga di kantong.
- Proses pembuatannya harus memperhatikan unsur kesehatan sehingga dalam tahapan memasaknya pun membutuhkan waktu yang lebih lama (Slow Cooking).
- Untuk menarik dan meyakinkan konsumen, tempat usaha lebih baik berkonsep alami (green).
Di Indonesia, konsep usaha restaurant yang berlabel Slow Food (dengan logo khasnya seekor sipu merah), sudah mulai bertebaran, terutama di kota-kota besar seperti Jakarta, Denpasar, Surabaya dan Bandung yang biasanya menyajikan menu makanan tradisional nusantara.
Komentar
Posting Komentar